ADAPTASI BANGUNAN GEDUNG TERHADAP IKLIM TROPIS. PERSPEKTIF PERMEN PU NO 29/PRT/M/2006 (THE BUILDING CODE)

Sebagai penduduk yang hidup di negara dengan iklim tropis, kita takkan bisa lepas dari penyesuaian cara membangun gedung terhadap iklim yang kita alami sepanjang tahun. Setiap bangunan yang didirikan di Indonesia pastilah harus mengikuti cara membangun yang adaptif ini jika tidak ingin operasional bangunannya menjadi mahal atau jika tidak ingin bangunannya cepat dimakan cuaca.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR telah mengeluarkan panduan agar bangunan yang kita dirikan berfungsi sebagai bangunan gedung yang selamat, sehat, nyaman, dan memberikan kemudahan bagi penghuni dan/atau pengguna bangunan gedung, serta efisien, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Panduan itu bernama PERMEN PU NO 29/PRT/M/2006 Tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

Seperti apa panduan dalam peraturan Menteri tersebut jika dihubungkan dengan iklim tropis di Indonesia? Mari kita lihat ulasannya….

DEFINISI

Sebelumnya mari kita lihat apa definisi Arsitektur Tropis itu?
           Secara definisi, arsitektur tropis adalah suatu karya arsitektur yang mampu mengantisipasi masalah yang ditimbulkan oleh iklim tropis
           Desain arsitektur tropis merupakan gaya bangunan yang sesuai dengan lingkungan di wilayah tropis.
           Arsitektur tropis merupakan konsep arsitektur yang merespon pengaruh iklim (ciri utama iklim tropis adalah temperature yang tinggi dengan angka rata-rata tahunan tidak dibawah 20 derajat celcius
Nah, paham kan apa arsitektur tropis itu? Sekarang kita lihat lagi bahwa secara fisik, bangunan-bangunan yang mencirikan arsitektur tropis memiliki beberapa tanda :  
Mempunyai atap yang tinggi dengan kemiringan diatas 30 derajat. Ruang di bawah atap berguna untuk meredam panas
Mempunyai teritisan/overstek atap yang cukup lebar untuk mengurangi efek tempias dari hujan yang disertai angin. Selain itu juga untuk menahan sinar matahari langsung yang masuk kedalam bangunan.
Mempunyai lubang untuk ventilasi udara secara silang, sehingga suhu didalam ruangan bisa tetap nyaman.
Pada daerah tertentu, rumah panggung menjadi ciri utama yang kuat untuk antisipasi bencana alam dan ancaman binatang buas.
Memiliki lingkungan/daerah hijau di sekitar bangunan sebagai penyejuk bangunan.
Desain tropis umumnya menggunakan material alam yang sumbernya bisa didapat di sekitarnya seperti kayu, batu, bambu,dll

FAKTOR ALAM YANG PENTING

Setelah paham bangunan tropis dan ciri-cirinya, lalu apa saja faktor alam yang mempengaruhi sebuah bangunan tropis?
Untuk suatu perencanaan dan pelaksanaan bangunan tropis yang baik, perlu diperhatikan kondisi-kondisi iklim setempat yaitu:
  1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan dan kemampuan mental dan fisik penghuni yaitu radiasi matahari, kesilauan, temperature dan perubahan temperature, curah hujan, kelembaban udara, gerakan udara dan pencemaran udara.
  2. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keselamatan bangunan yaitu gempa bumi, badai, hujan lebat, banjir, gelombang pasang dan bahan kimia/biologis.
  3. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan bangunan dan pelapukan bahan bangunan lebih awal yaitu faktor intensitas matahari yang kuat, kelembaban udara dan kondensasi yang tinggi serta badai debu dan pasir.
Akan tetapi, tidak semua bagian dalam peraturan Menteri itu mengatur tentang arsitektur/bangunan tropis. Hanya beberapa bagian saja yang khusus mengaturnya yaitu :

III.3.3 PERSYARATAN KENYAMANAN BANGUNAN GEDUNG

      1. Umum
      2. Persyaratan Kenyamanan Ruang Gerak dalam Bangunan Gedung
      3. Persyaratan kenyamanan kondisi udara dalam bangunan
a. Persyaratan Kenyamanan Termal Dalam Ruang
o Untuk kenyamanan termal dalam ruang di dalam bangunan gedung harus mempertimbangkan temperatur dan kelembaban udara.
o   Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban udara di dalam ruangan dapat dilakukan dengan alat pengkondisian udara yang mempertimbangkan:
ü fungsi bangunan gedung/ruang, jumlah pengguna, letak geografis, orientasi bangunan, volume ruang, jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan;
ü  kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan

ü  prinsip-prinsip penghematan energi dan ramah lingkungan 
Persyaratan kenyamanan termal dalam ruang harus mengikuti:
(1)     SNI 03-6389-2000 Konservasi energi selubung bangunan pada bangunan gedung, atau edisi terbaru;
(2)     SNI 03-6390-2000 Konservasi energi sistem tata udara pada bangunan gedung, atau edisi terbaru;
(3)     SNI 03-6196-2000 Prosedur audit energi pada bangunan gedung, atau edisi terbaru;  
(4)     SNI 03-6572-2001 Tata cara perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian udara pada bangunan gedung, atau edisi terbaru.
Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.


   Bangunan yang terlalu memenuhi halaman, akan menyebabkan kawasan yang dibangun penuh sesak. Perlu adanya space yang diberikan agar antara satu bangunan dan bangunan lainnya masih ada aliran udara. Aliran udara ini akan menghapus panas yang ditimbulkan oleh cuaca dan menurunkan suhu bangunan secara alami yang pada gilirannya menurunkan beban pendinginan buatan di dalam bangunan. Oleh karenanya intensitas bangunan sangat perlu diatur dalam peraturan menteri ini.
Dalam hal intensitas bangunan, peraturan menteri ini mengatur sebagai berikut


III.2.1. PERUNTUKAN LOKASI DAN INTENSITAS BANGUNAN GEDUNG

            1.      PERUNTUKAN LOKASI

2.   INSTENSITAS BANGUNAN GEDUNG

a. Kepadatan dan Ketinggian Bangunan Gedung

i.   Bangunan gedung yang didirikan harus memenuhi persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan gedung berdasarkan rencana tata ruang wilayah daerah yang bersangkutan, rencana tata bangunan dan lingkungan yang ditetapkan, dan peraturan bangunan setempat.
ii. Kepadatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir i, meliputi ketentuan tentang Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yang dibedakan dalam tingkatan KDB padat, sedang, dan renggang. 
iii. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir i, meliputi ketentuan tentang Jumlah Lantai Bangunan (JLB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang dibedakan dalam tingkatan KLB tinggi, sedang, dan rendah. 
iv. Persyaratan kinerja dari ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan ditentukan oleh: 
(1) kemampuannya dalam menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan optimalnya intensitas pembangunan;
(2)  kemampuannya dalam mencerminkan keserasian bangunan dengan lingkungan;
(3) kemampuannya dalam menjamin kesehatan dan kenyamanan pengguna serta masyarakat pada umumnya.
v.  Untuk suatu kawasan atau lingkungan tertentu, seperti kawasan wisata, pelestarian dan lain lain, dengan pertimbangan kepentingan umum dan dengan persetujuan Kepala Daerah, dapat diberikan kelonggaran atau pembatasan terhadap ketentuan kepadatan, ketinggian bangunan dan ketentuan tata bangunan lainnya dengan tetap memperhatikan keserasian dan kelestarian lingkungan.
vi. Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud pada butir iii tidak diperkenankan mengganggu lalu-lintas udara.


b. Penetapan KDB dan Jumlah Lantai/KLB

i. Penetapan besarnya kepadatan dan ketinggian bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam butir a.ii dan a.iii  di atas ditetapkan dengan mempertimbangkan perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung lahan/ lingkungan, serta keseimbangan dan keserasian lingkungan.
ii. Apabila KDB dan JLB/KLB belum ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, peraturan bangunan setempat, maka Kepala Daerah dapat menetapkan berdasarkan berbagai pertimbangan dan setelah mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.
iii. Ketentuan besarnya KDB dan JLB/KLB dapat diperbarui sejalan dengan pertimbangan perkembangan kota, kebijaksanaan intensitas pembangunan, daya dukung lahan/lingkungan, dan setelah mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.
iv. Dengan pertimbangan kepentingan umum dan ketertiban pembangunan,  Kepala Daerah dapat menetapkan rencana perpetakan dalam suatu kawasan/lingkungan dengan persyaratan:
(1)  Setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana perpetakan yang telah diatur di dalam rencana tata ruang;
(2) Apabila perpetakan tidak ditetapkan, maka KDB dan KLB diperhitungkan berdasarkan luas tanah di belakang garis sempadan jalan (GSJ) yang dimiliki;
(3)  Untuk persil-persil sudut bilamana sudut persil tersebut dilengkungkan atau disikukan, untuk memudahkan lalu lintas, maka lebar dan panjang persil tersebut diukur dari titik pertemuan garis perpanjangan pada sudut tersebut dan luas persil diperhitungkan berdasarkan lebar dan panjangnya;
(4)  Penggabungan atau pemecahan perpetakan dimungkinkan dengan ketentuan KDB dan KLB tidak dilampaui, dan dengan memperhitungkan keadaan lapangan, keserasian dan keamanan lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan;
(5)  Dimungkinkan adanya pemberian dan penerimaan besaran KDB/KLB diantara perpetakan yang berdekatan, dengan tetap menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan keserasian lingkungan.
v. Dimungkinkan adanya kompensasi berupa penambahan besarnya KDB. JLB/KLB bagi perpetakan tanah yang memberikan sebagian luas tanahnya untuk kepentingan umum.
vi. Penetapan besarnya KDB, JLB/KLB untuk pembangunan bangunan gedung di atas fasilitas umum adalah setelah mempertimbangkan keserasian, keseimbangan dan persyaratan teknis serta mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.


c. Perhitungan KDB dan KLB

Perhitungan KDB maupun KLB ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
i.  Perhitungan luas lantai bangunan adalah jumlah luas lantai yang diperhitungkan sampai batas dinding terluar;
ii. Luas lantai ruangan beratap yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding yang tingginya lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut dihitung penuh 100 %;
iii. Luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan dihitung 50 %, selama tidak melebihi 10 % dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB yang ditetapkan;
iv. Overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya tersebut dianggap sebagai luas lantai denah;
v. Teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai teras tidak diperhitungkan sebagai luas lantai;
vi. Luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak diperhitungkan dalam perhitungan KLB, asal tidak melebihi 50 % dari KLB yang ditetapkan, selebihnya diperhitungkan 50 % terhadap KLB;
vii. Ram dan tangga terbuka dihitung 50 %, selama tidak melebihi 10 % dari luas lantai dasar yang diperkenankan;
viii. Dalam perhitungan KDB dan KLB, luas tapak yang diperhitungkan adalah yang dibelakang GSJ;
ix. Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (besmen) ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan pertimbangan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan pendapat teknis para ahli terkait;
x. Untuk pembangunan yang berskala kawasan (superblock), perhitungan KDB dan KLB adalah dihitung terhadap total seluruh lantai dasar bangunan, dan total keseluruhan luas lantai bangunan dalam kawasan tersebut terhadap total keseluruhan luas kawasan;
xi. Dalam perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian bangunan tersebut dianggap sebagai dua lantai;
xii. Mezanin yang luasnya melebihi 50 % dari luas lantai dasar dianggap sebagai lantai penuh.


d. Garis Sempadan (Muka) Bangunan Gedung

i. Garis Sempadan Bangunan ditetapkan dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, serta peraturan bangunan setempat.
ii. Dalam mendirikan atau memperbarui seluruhnya atau sebagian dari suatu bangunan, Garis Sempadan Bangunan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam butir a. tidak boleh dilanggar.
iii. Apabila Garis Sempadan Bangunan sebagaimana dimaksud pada butir a. tersebut belum ditetapkan, maka Kepala Daerah dapat menetapkan GSB yang bersifat sementara untuk lokasi tersebut pada setiap permohonan perizinan mendirikan bangunan.
iv. Penetapan Garis Sempadan Bangunan didasarkan pada pertimbangan keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keserasian dengan lingkungan serta ketinggian bangunan.
v. Daerah menentukan garis-garis sempadan pagar, garis sempadan muka bangunan, garis sempadan loteng, garis sempadan podium, garis sempadan menara, begitu pula garis-garis sempadan untuk pantai, sungai, danau, jaringan umum dan lapangan umum.
vi. Pada suatu kawasan/lingkungan yang diperkenankan adanya beberapa klas bangunan dan di dalam kawasan peruntukan campuran, untuk tiap-tiap klas bangunan dapat ditetapkan garis-garis sempadannya masing-masing.
vii. Dalam hal garis sempadan pagar dan garis sempadan muka bangunan berimpit (GSB sama dengan nol), maka bagian muka bangunan harus ditempatkan pada garis tersebut.
viii. Daerah berwenang untuk memberikan pembebasan dari ketentuan dalam butir g, sepanjang penempatan bangunan tidak mengganggu jalan dan penataan bangunan sekitarnya.
ix. Ketentuan besarnya GSB dapat diperbarui dengan pertimbangan perkembangan kota, kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan, maupun pertimbangan lain dengan mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.


e. Garis Sempadan (Samping Dan Belakang) Bangunan Gedung

i.  Kepala Daerah dengan pertimbangan keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan, juga menetapkan garis sempadan samping kiri dan kanan, serta belakang bangunan terhadap batas persil, yang diatur di dalam rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan, dan peraturan bangunan setempat.
ii. Sepanjang tidak ada jarak bebas samping maupun belakang bangunan yang ditetapkan, maka Kepala Daerah menetapkan besarnya garis sempadan tersebut dengan setelah mempertimbangkan keamanan, kesehatan dan kenyamanan, yang ditetapkan pada setiap permohonan perizinan mendirikan bangunan.
iii. Untuk bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan-bahan/benda-benda yang mudah terbakar dan/atau bahan berbahaya, maka Kepala Daerah dapat menetapkan syarat-syarat lebih lanjut mengenai jarak-jarak yang harus dipatuhi, diluar yang diatur dalam butir i.
iv. Pada daerah intensitas bangunan padat/rapat, maka garis sempadan samping dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan:
(1) bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan;
(2) struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurang-kurangnya 10 cm kearah dalam dari batas pekarangan, kecuali untuk bangunan rumah tinggal;
(3) untuk perbaikan atau perombakan bangunan yang semula menggunakan bangunan dinding batas bersama dengan bangunan di sebelahnya, disyaratkan untuk membuat dinding batas tersendiri disamping dinding batas terdahulu;
(4) pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping, sedangkan jarak bebas belakang ditentukan minimal setengah  dari besarnya garis sempadan muka bangunan.


 f. Jarak Bebas Bangunan Gedung

i. Pada daerah intensitas bangunan rendah/renggang, maka jarak bebas samping dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan:
(1) jarak bebas samping dan jarak bebas belakang ditetapkan minimum 4 m pada lantai dasar, dan pada setiap penambahan lantai/tingkat bangunan, jarak bebas di atasnya ditambah 0,50 m dari jarak bebas lantai di bawahnya sampai mencapai jarak bebas terjauh 12,5 m, kecuali untuk bangunan rumah tinggal, dan sedangkan untuk bangunan gudang serta industri dapat diatur tersendiri; 
(2) sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun pada kedua sisi samping kiri dan kanan serta bagian belakang yang berbatasan dengan pekarangan.
ii. Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk apapun.
iii. Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai berikut:
(1) dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan, maka jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak bebas yang ditetapkan;
(2) dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka dan/atau berlubang, maka jarak antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang ditetapkan;
(3) dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan, maka jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.


g. Pemisah di Sepanjang Halaman Depan/Samping/ Belakang Gedung

i.  Halaman muka dari suatu bangunan harus dipisahkan dari jalan menurut cara yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan, serta keserasian lingkungan.
ii. Kepala Daerah menetapkan ketinggian maksimum pemisah halaman muka.
iii. Untuk sepanjang jalan atau kawasan tertentu, Kepala Daerah dapat menerapkan desain standar pemisah halaman yang dimaksudkan dalam butir i.
iv. Dalam hal yang khusus Kepala Daerah dapat memberikan pembebasan dari ketentuan-ketentuan dalam butir i dan ii, dengan setelah mempertimbangkan hal teknis terkait. 
v.  Dalam hal pemisah berbentuk pagar, maka tinggi pagar  pada GSJ dan antara GSJ dengan GSB pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 m di atas permukaan tanah, dan untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk bangunan industri maksimal 2 m di atas permukaan tanah pekarangan.
vi. Pagar sebagaimana dimaksud pada butir e harus tembus pandang, dengan bagian bawahnya dapat tidak tembus pandang maksimal setinggi 1 m di atas permukaan tanah pekarangan.
vii. Untuk bangunan-bangunan tertentu, Kepala Daerah dapat menetapkan lain terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir v dan vi.
viii. Penggunaan kawat berduri sebagai pemisah disepanjang jalan-jalan umum tidak diperkenankan.
ix. Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang pekarangan samping dan belakang untuk bangunan renggang maksimal 3 m di atas permukaan tanah pekarangan, dan apabila pagar tersebut merupakan dinding bangunan rumah tinggal bertingkat tembok maksimal 7 m dari permukaan tanah pekarangan, atau ditetapkan lebih rendah setelah mempertimbangkan kenyamanan dan kesehatan lingkungan.
x. Antara halaman belakang dan jalur-jalur jaringan umum kota harus diadakan pemagaran. Pada pemagaran ini tidak boleh diadakan pintu-pintu masuk, kecuali jika jalur-jalur jaringan umum kota direncanakan sebagai jalur jalan belakang untuk umum .
xi. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan syarat-syarat lebih lanjut yang berkaitan dengan desain dan spesifikasi teknis pemisah di sepanjang halaman depan, samping, dan belakang bangunan. 


xii. Kepala Daerah dapat menetapkan tanpa adanya pagar pemisah halaman depan, samping maupun belakang bangunan pada ruas-ruas jalan atau kawasan tertentu, dengan pertimbangan kepentingan kenyamanan, kemudahan hubungan (aksesibilitas), keserasian lingkungan, dan penataan bangunan dan lingkungan yang diharapkan. 



Ventilasi adalah “lagu wajib” dalam sebuah bangunan tropis. Meskipun sedikit atau banyaknya ventilasi tetap saja ditentukan oleh dimensi bangunan, namun di hampir tiap bangunan di Indonesia selalu ditemukan adanya ventilasi. Persyaratan ventilasi ini diatur sebagai berikut :

III.3.2. PERSYARATAN KESEHATAN BANGUNAN GEDUNG

1. Umum
Persyaratan kesehatan bangunan gedung meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung.
 2. Persyaratan Sistem Penghawaan 

a. Persyaratan Ventilasi 

i. Setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan fungsinya. 
ii. Bangunan gedung tempat tinggal, bangunan gedung pelayanan kesehatan khususnya ruang perawatan, bangunan gedung pendidikan khususnya ruang kelas, dan bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk kepentingan ventilasi alami.
 iii. Persyaratan Umum
     Jika ventilasi alami tidak mungkin dilaksanakan, maka diperlukan ventilasi mekanis seperti pada bangunan fasilitas tertentu yang memerlukan perlindungan dari udara luar dan pencemaran. 
     Persyaratan teknis sistem ventilasi, kebutuhan ventilasi, harus mengikuti:
(a) SNI 03-6390-2000 Konservasi energi sistem tata udara pada bangunan gedung;
(b) SNI 03-6572-2001 Tata cara perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian udara pada bangunan gedung, atau edisi terbaru; 
(c) Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi;
(d) Standar tentang tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem ventilasi mekanis. 

Dalam hal masih ada persyaratan lainnya yang belum tertampung, atau yang belum mempunyai SNI, digunakan standar baku dan/atau pedoman teknis.


Daftar Isi SNI tentang Konservasi Energi

SNI tentang Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan Pengkondisian Udara Pada Bangunan


Demikianlah, pemerintah mengatur tata cara membangun secara baik dan benar bagi bangunan tropis di Indonesia agar dapat mengatasi iklim yang sepanjang tahun lembab dan disertai dengan curah hujan tinggi. 







   

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ADAPTASI BANGUNAN GEDUNG TERHADAP IKLIM TROPIS. PERSPEKTIF PERMEN PU NO 29/PRT/M/2006 (THE BUILDING CODE)"

Post a Comment