Pemahaman Keliru Yang Sering Dijumpai Dalam Dunia Jasa Konstruksi
Kamu pernah mendengar ujaran “seorang tukang yang ahli”?
Atau pernahkah mendengar seseorang mencari harga satuan material pada dokumen
Harga Satuan Bangunan Negara? Baiklah saya luruskan yah.
Kekeliruan pertama. Menurut
undang-undang terbaru, tenaga kerja konstruksi dibedakan atas tiga yaitu :
operator, teknisi atau analist dan ahli. Dua yang pertama bisa disebut sebagai tenaga
terampil sedangkan yang terakhir disebut tenaga ahli. Nah tukang (termasuk tukang batu, tukang kayu, tukang las, tukang pipa, tukang listrik, dll) bisa dimasukkan pada kategori
pertama yaitu tenaga kerja terampil. Makanya dalam sudut terminologi undang undang
ini, akan membingungkan jika seorang tenaga kerja (operator atau
teknisi/analist) disebut memiliki keahlian. Seharusnya mereka disebut memiliki
keterampilan.
Kekeliruan kedua. Harga Satuan
Bangunan Gedung Negara (HSBGN) adalah dokumen yang berbeda dengan Harga Satuan Material.
HSBGN outputnya berbentuk harga satuan per meter persegi bangunan dan berfungsi sebagai parameter programming sedangkan
harga satuan material outputnya adalah harga per satuan jenis barang yang
dijual di toko bangunan dengan fungsi sebagai parameter actuating. Jadi jelas berbeda ya?
Ok masih ada nih beberapa kesalahan pemahaman lainnya.
Ayo kita baca satu persatu.
1. Sertifikat Keahlian atau Sertifikat
Keterampilan hanya untuk kelengkapan dokumen penawaran dalam lelang.
Ini kekeliruan besar. Saat ini dunia jasa konstruksi di tanah air marak dengan
kedatangan sejumlah tenaga kerja asing. Harus diakui bahwa keahlian mereka
memang di atas rata-rata tenaga kerja Indonesia. Nah untuk membangun daya saing
atas tenaga kerja asing ini, tenaga kerja Indonesia perlu memperkaya diri
dengan berbagai keterampilan dan keterampilan itu harus bisa dibuktikan dengan sertifikat. Itulah
makanya, menganggap SKA & SKT hanyalah sebagai prasyarat lelang adalah
sebuah kesalahan.
2. Membangun infrastruktur tidak perlu
menggunakan tenaga bersertifikat.
Ini
adalah juga kekeliruan berikutnya. Memaksimalkan keandalan infrastruktur yang
kita bangun seharusnya dimulai dengan memaksimalkan mereka yang bekerja di
dalam project tersebut. Bagaimana caranya? Sedapat mungkin gunakan
tenaga kerja bersertifikat. Memang diakui bahwa saat ini tenaga kerja di
Indonesia masih kurang yang bersertifikat. Namun jika kita tidak mulai “menagihnya”
sekarang, kapan lagi kita akan memulai kebiasaan membangun infrastruktur dengan
cara-cara baik?
3.
Dikotomi lokal VS Non Lokal
Saat
ini semua persyaratan berusaha sedang dipermudah oleh pemerintah. Diantaranya
dengan memberlakukan secara nasional dokumen perizinan yang diurus di daerah.
Itu artinya, dokumen perizinan yang diurus pada Kabupaten A dapat dipakai dalam
persyaratan izin di Kabupaten B. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, tidak
ada lagi batas-batas wilayah teritorial dalam dokumen perizinan. Hal ini
berarti semua penyedia jasa (lokal maupun non lokal) berada dalam posisi yang
sama sehingga pemakaian istilah ini makin lama akan makin ketinggalan zaman.
4.
Jasa Konstruksi adalah urusan KemenPUPR sendiri.
Opppssss
jangan coba-coba bicara seperti itu di lingkungan kerja Kementerian Dalam
Negeri karena di sana ada Dirjen Bina Pembangunan Daerah dan dibawah Dirjennya ada
bagian yang khusus menangani urusan kePU-an. Begitu pula dengan Kementerian Perhubungan.
Mereka membangun bandara dimana-mana. Mereka juga membangun pelabuhan laut dan
dermaga-dermaga kapal penangkap ikan. Ini belum termasuk beberapa kementerian lain yang juga membangun infrastruktur seperti Kementerian ESDM yang membangun PLTA/PLTD/PLTS, Kementerian Kesehatan yang membangun rumah sakit, Kementerian Pariwisata yang membangun fasilitas-fasilitas wisata, dll. So, kamu akan terlihat linglung jika
mengatakan bahwa urusan Jasa Konstruksi adalah urusan KemenPUPR saja.
5. Jasa Konstruksi di daerah harus ditopang
APBN.
Inspektur
Jenderal Kementerian Dalam Negeri mengatakan dalam suatu kesempatan bahwa pada
dasarnya apapun yang dibangun di daerah wajib didanai oleh pemerintah daerah. Kecuali
project yang bersifat nasional atau
terdapat ketidakmampuan daerah dalam membiayainya, pemerintah daerah boleh
meminta pemerintah pusat untuk mendanainya. So, cara berfikir seperti itu basicly
adalah cara berpikir yang kurang tepat.
6. Infrastruktur harus dibangun oleh
pemerintah.
Ada
beberapa kemungkinan pendanaan yang legal
digunakan dalam pembiayaan infrastruktur
yaitu : pinjaman, APBN, APBD dan swasta. Pernah lihat jalan tol bukan? Jalan
tol biasanya dibangun oleh swasta dan dikerjasamakan pengelolaannya dalam
jangka waktu tertentu. Pemerintah juga mengatur soal BGS (Bangun Guna Serah). Dalam BGS ini pemerintah selaku pemilik lahan menyerahkan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur kepada pihak swasta. Peran swasta ini akan semakin diperkuat dengan berbagai defisit
anggaran yang membebani keuangan negara akhir-akhir ini.
7. Mobile Training Unit (MTU) hanya dipakai
untuk pelatihan terampil.
Ada
tiga peran yang diemban oleh Mobile Training Unit ini yaitu pelatihan, sosialisasi dan pameran. Nah karena
keterbatasan jumlah unit maka MTU ini hanya bisa ditempatkan di tingkat
provinsi namun dengan daerah pelayanan sampai ke kabupaten/kota. Oleh karena
regulasi yang baru menyatakan pelatihan terampil adalah wewenang pemerintah
daerah kabupaten/kota maka pemerintah provinsi berubah perannya menjadi support system bagi pelatihan terampil. Artinya
kegiatan pelatihan tetap harus diadakan di kabupaten/kota namun pengerahan MTU,
material pelatihan, tenaga pelatih dan tenaga assessor harus dilakukan oleh provinsi. Selain itu masih ada dua
fungsi lain yaitu fungsi sosialisasi dan fungsi pameran.
8. Izin Usaha Jasa Konstruksi hanyalah syarat
administrasi dalam pendirian sebuah Badan Usaha Jasa Konstruksi.
Jika
ada pengusaha jasa konstruksi yang berfikir seperti ini, sebaiknya diluruskan.
Menurut prinsipnya, pertama, Izin
Usaha Jasa Konstruksi adalah perlindungan negara terhadap kepentingan publik. Dalam
dokumen yang harus dilengkapi BUJK saat mengurus IUJK terdapat nama
penanggungjawab Teknik Badan Usaha sehingga bila dikemudian hari terdapat
masalah yang berhubungan dengan kepentingan publik maka penanggungjawab Teknik ini
dapat dimintai pertanggungjawabannya. Kedua,
IUJK adalah bentuk perlindungan negara terhadap Badan Usaha Jasa Konstruksi.
Mengapa demikian? Karena dengan diterbitkannya IJUK ini maka negara menjamin
kebebasan BUJK untuk melakukan usaha dimanapun dan melakukan ekspansi usaha konstruksi apapun di wilayah NKRI sepanjang menuruti peraturan perundangan yang berlaku. Ketiga, IUJK adalah tanda
profesionalisme BUJK. IUJK adalah tanda badan usaha memiliki tenaga ahli dan
tenaga terampil yang siap diterjunkan dalam project.
Dengan demikian, walaupun masih sebatas administrasi, IJUK menjadi jaminan
kesiapan badan usaha menjalankan usahanya.
9. Kontraktor hanya dapat berperan sebagai
penyedia jasa.
Ini
adalah paradigma yang mulai berusaha dikikis oleh pemerintah. Disaat keuangan
pemerintah menipis dan tidak dapat lagi mendanai semua kegiatan infrastruktur
maka diharapkan para pengusaha (terutama kualifikasi B) dapat ambil peran
sebagaimana yang dilakukan oleh BUMN PT Waskita
Karya (Persero) Tbk yang juga menjadi investor melalui anak usahanya PT Waskita
Toll Road sebagai pemegang konsesi beberapa jalan tol di Indonesia. Di negara
lain sudah banyak investor berasal dari kontraktor besar seperti Samsung
C&T dan SK Group di Korea dan BAM yang merupakan anak perusahaan Royal BAM
Group di Belanda. Para investor tersebut mengerjakan berbagai macam proyek
infrastruktur jalan raya tol, transportasi, dan bangunan di Eropa. Dengan
demikian, kontraktor swasta nasional diharapkan dapat terlibat lebih jauh dalam
pengembangan proyek infrastruktur dengan menjadi investor.
10. Tugas Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
terbatas pada registrasi dan sertifikasi badan usaha/tenaga kerja saja.
Saat
ini memang personil yang bernaung di dalam Lembaga Pengembangan Jasa konstruksi
(LPJK) baik daerah maupun nasional dalam keadaan gamang pasca ditetapkannya UU
No 02 Tahun 2017. Dalam undang undang itu tidak disebutkan secara jelas bahwa Lembaga
sertifikasi adalah LPJK melainkan “sebuah lembaga” yang nantinya akan
ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi jika menilik kebelakang, peran Lembaga ini
tidaklah hanya sebagai tukang cetak sertifikat melainkan paling tidak : (1) Melakukan dan mendorong penelitian dan
pengembangan jasa konstruksi (2) Menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan jasa konstruksi (3) Mendorong dan meningkatkan peran
arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa konstruksi. Nah
dengan demikian, tidaklah elok jika kita menyebut lembaga ini hanya memiliki
satu fungsi (sertifikasi & registrasi BUJK & tenaga terampil/tenaga
ahli) melainkan memiliki banyak fungsi.
Demikianlah
banyak hal yang bisa membuat kita salah paham. Semoga sekarang pemahaman kita semakin luas dan benar yah.
Salam…
0 Response to "Pemahaman Keliru Yang Sering Dijumpai Dalam Dunia Jasa Konstruksi"
Post a Comment