SELAYANG PANDANG TOROSIAJE, KAWASAN DENGAN PENERAPAN PRINSIP KOLABORASI DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN PROGRAM KOTAKU

SUKU YANG AKRAB DENGAN LAUT
Mengamati Torosiaje adalah seperti mengamati pusat-pusat permukiman Suku Bajo pada umumnya yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Meskipun disinyalir berasal dari NTT, suku ini diketahui mendiami wilayah sekitar Sulawesi, Kalimantan dan bahkan ada yang sampai menyebar ke Filipina Selatan. Sebagai suku pelaut, kebiasaan hidup melebur dengan alam pantai & laut sangat membentuk budaya bermukim mereka. Tak heran jika pada era orde baru usaha pemerintah untuk mengajak mereka pindah ke darat berkali-kali gagal. Sebenarnya usaha itu tidak gagal sama sekali karena kalo dilihat saat ini ada juga sebagian masyarakat suku Bajo Torosiaje yang sekarang mendiami daratan sekitar pantai bagian selatan Kabupaten Pohuwato & juga Kabupaten Boalemo. Itu artinya, “opini kaku” bahwa Suku Bajo harus tinggal di laut saat ini menjadi terbelah. Namun memang, jika yang kita cari adalah keunikan bermukim maka tentu saja Suku Bajo Torosiaje yang saat ini bertahan tinggal di laut lepas pantai Pohuwato memiliki keunikan cara hidup yang lebih mencolok mata.
Dinas Perumahan Rakyat & Kawasan Permukiman Provinsi Gorontalo pada beberapa waktu yang lalu sengaja datang untuk menemukenali masalah kekumuhan yang terdapat di desa ini. Sebagai informasi, Desa Torosiaje adalah salah satu dari tiga kawasan kumuh kewenangan provinsi yang terdapat di Kabupaten Pohuwato yang sudah ditetapkan oleh Bupati Pohuwato diantara 37 kawasan kewenangan provinsi lainnya di Provinsi Gorontalo. 
Sebagai sebuah desa nelayan, tentu saja karakteristik kekompakan hidup mereka sangat terasa. Karena rata-rata warganya memiliki kesamaan menggantungkan hidupnya dari melaut, maka keinginan kuat untuk membuat perkampungan mereka sedekat mungkin dengan laut menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan ambulans mereka pun bukan berbentuk mobil seperti biasa melainkan berbentuk speed boat yang dapat melayani kebutuhan kesehatan masyarakat secara darurat. Sejumlah 300-an rumah telah berdiri di kawasan yang luasnya 12 hektar ini sejak beberapa dekade lalu. Uniknya, khusus untuk Torosiaje, seluruh bangunan mereka bisa dikatakan layak huni kecuali satu kriteria yaitu kelayakan dari segi luasan. Kriteria luasan minimal 7,2 m2 untuk setiap warga yang tinggal dalam satu rumah belum tercapai. Masih ada rumah yang jika dibandingkan dengan total jumlah penghuninya, luasan per orangnya hanya 5 m2 atau 3 m2 yang berarti mereka hidup berdesakan dalam satu rumah. Dengan kata lain, masih terdapat beberapa kepala keluarga yang hidup menumpang di rumah orang lain (biasanya rumah mertua, rumah orang tua atau hubungan kekerabatan lainnya) yang butuh untuk dibangunkan rumah baru. 
Separuh jalan lingkungan juga rusak. Meskipun namanya jalan lingkungan tapi jangan membayangkan jalan setapak sebagaimana yang terdapat di daratan ya. Iya, karena perkampungan ini berdiri diatas laut maka jalan lingkungan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah jembatan kayu memanjang yang dibangun melingkar mengelilingi perkampungan mereka. 
Air minum bukan masalah di tempat ini. Seluruh pasokan didapatkan dari daratan yang jauhnya hanya kira-kira 8 menit berperahu dari perkampungan. Warga mengkonsumsi air isi ulang yang saat ini banyak terdapat deponya di Pohuwato. 
Jika bicara limbah, maka Torosiaje mungkin paling parah jika dibandingkan dengan semua kawasan kumuh kewenangan provinsi yang ada di Gorontalo. Seratus persen warga yang tinggal diatas air tidak memiliki fasilitas sanitasi yang memadai karena terkendala konstruksi septik tank yang harus menyesuaikan dengan keadaan alam laut. Hanya ada dua jamban dengan kloset leher angsa yang terhubung ke septik tank. Itupun dibangun di masjid & di sekolah. 
Penanganan sampah di kawasan ini masih mengandalkan pembakaran. Sampah yang terkumpul di tempat-tempat tertentu dibawa ke darat untuk dibakar. Warga belum memiliki akses terhadap sistem pengelolaan sampah terpusat sebagaimana akses yang dimiliki warga lain di kawasan lainnya di Gorontalo.
Jika ada rumah yang terbakar, dipastikan hampir seluruh perkampungan akan dilalap api karena ketiadaan fasilitas pemadam kebakaran. Meskipun dalam kurun 5 tahun terakhir tidak ada catatan kejadian kebakaran, namun penggunaan 95% material bangunan di kawasan ini yang terdiri kayu & papan menjadikan Kawasan Torosiaje sangat rawan terbakar. 

Bicara tentang kumuh, Dinas Perumahan Rakyat & Kawasan Permukiman (Dinas PRKP) “berhutang besar” ke KOTAKU. Ini karena konsep pengukuran kualitas kekumuhan yang diterapkan pada kawasan-kawasan yang menjadi kewenangan provinsi sangat berkiblat ke Peraturan Menteri PUPR No 14 Tahun 2018 yang juga dipakai sebagai acuan utama dalam pengukuran kawasan kumuh di Program KOTAKU. Dalam serangkaian kunjungan tahun ini di 13 kawasan yang menjadi kewenangan provinsi, Dinas Perumahan Rakyat & Kawasan Permukiman melakukan kolaborasi program dengan melibatkan para tenaga ahli KOTAKU yang sudah beberapa tahun terakhir menerapkan peraturan menteri ini dalam program mereka. Peraturan menteri ini memang memberikan acuan yang sangat akurat dalam mengukur kedalaman masalah dan kebutuhan infrastruktur dalam sebuah kawasan sasaran. Penelusuran data dengan kuisioner, tracking dan wawancara yang dilakukan pada tingkat masyarakat secara langsung, menjamin hasil penelusuran yang berupa tabel kekumuhan & delinieasi peta (batas spasial) kekumuhan menjadi sangat akurat. 
Dalam pelaksanaan kolaborasi program antara Dinas PRKP dan KOTAKU ini, penerapan prinsip 7 aspek, 16 kategori dan 29 parameter yang dimuat dalam peraturan menteri dibagi dalam tiga tahap.

Tahap pertama adalah On the Job Training, dengan mengajarkan dan melatihkan secara intens tata cara pengukuran kekumuhan kepada Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (POKJA PKP) kabupaten/kota. Tahap kedua dengan melakukan pengukuran secara langsung pada 13 kawasan yang menjadi kewenangan provinsi. Sebetulnya dinas sudah mendapatkan 18 data pengukuran awal kekumuhan karena diluar 13 kawasan yang dikunjungi secara langsung tadi, lima kawasan lainnya bisa didapatkan data upgrade nya melalui jaringan data Tim KOTAKU karena kelima kawasan tersebut masuk dalam wilayah dampingan KOTAKU. Tahap ketiga adalah dengan melakukan kegiatan advokasi sadar kumuh. Kawasan kumuh kewenangan provinsi yang telah dan akan ditangani oleh Dinas PRKP secara kontinyu dikunjungi lalu diberikan pemahaman mengenai cara memelihara kesadaran masyarakat mengenai bahaya kekumuhan, tata cara merawat infrastruktur yang telah dibangun pemerintah dan tata cara menghindarkan kawasan yang didiami saat ini agar tidak kembali masuk dalam kondisi kumuh. 

TIGA HAL PENTING TOROSIAJE 
Kembali ke Torosiaje, ada beberapa hal penting yang didapatkan Dinas PRKP dalam pengukuran kekumuhan tahun 2022. Pertama adalah konstruksi pondasi bangunan mereka yang dipancang di permukaan laut dan selalu terendam air dengan kadar garam tinggi menyebabkan material yang paling cocok digunakan adalah kayu. Warga pernah mencoba material beton bertulang yang dikenal lebih kuat namun dalam pengalaman mereka, pondasi yang dibuat dengan material ini mudah keropos disebabkan rendaman air laut. Untuk material pondasi ini, penulis pernah melihat penerapan pondasi tiang beton bertulang di tempat lain yang berhasil mempertahankan umur konstruksinya yaitu dengan membungkus beton bertulang dengan pipa paralon. Sebagaimana diketahui secara umum, material plastik pipa paralon dapat menahan korosi yang diakibatkan oleh rendaman air laut hingga puluhan tahun lamanya.

Yang kedua, hal penting lain yang ditemukan adalah sisi budaya. Masyarakat Torosiaje sangat memelihara akar budaya mereka termasuk upacara adat dan bahasa. Meskipun secara lahiriah mereka tidak berbeda dengan warga lainnya namun upacara adat masyarakat nelayan yang 100% memeluk agama Islam ini sangat kental dengan nuansa laut. Sebutlah tradisi lahiran dengan mencelupkan sejenak bayi yang baru lahir ke air laut yang secara filosofis bertujuan mendekatkan sang bayi dengan alam yang ratusan tahun diakrabi oleh leluhurnya. 

Yang ketiga adalah kegelisahan warga Torosiaje mengenai luas lahan yang mereka tempati saat ini. Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan mereka membutuhkan perluasan lahan baru di atas air. Hal ini menuntut birokrasi perijinan yang dirasakan oleh warga agak berbelit karena harus mengkonfirmasi ijin pembangunan kawasan baru mereka ke pihak yang berwenang dalam pengaturan tata ruang laut. 

Well, apapun tantangannya, keunikan budaya masyarakat Torosiaje yang tinggal di kawasan kumuh kewenangan provinsi Gorontalo ini menjadi layak untuk diperhatikan. Semoga pada tahun-tahun mendatang masalah kekumuhan yang masih mengakrabi desa wisata budaya ini dapat segera dientaskan dengan kolaborasi apik Dinas Perumahan Rakyat & Kawasan Permukiman dan KOTAKU.

Note:
Artikel ini telah tayang di website Kementerian PUPR/KOTAKU pada awal Oktober 2022 dengan judul & penulis yang sama

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SELAYANG PANDANG TOROSIAJE, KAWASAN DENGAN PENERAPAN PRINSIP KOLABORASI DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN PROGRAM KOTAKU "

Post a Comment